Bisnis Alumni Bioda, Mommy Donut: One on One

Sekolah Menengah (Umum) Atas (SMA) memang didesain berbeda dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di SMK biasanya lebih banyak diajarkan pengetahuan praktis, dibanding SMA yang proporsi pelajaran “prakteknya” lebih sedikit.

Di SMK juga kadang diajarkan juga tentang entrepreneur atau kewirausahaan. Misi utamanya memang mendorong lulusan SMK bisa berwirausaha tidak melulu sebagai pencari kerja, tetapi pencipta kerja. Apalagi menghadapi masa depan yang sudah berubah. Ada banyak kejutan dan penyimpangan atas pakem-pakem yang normal. 

Namun dunia nyata kadang juga tidak liner dengan para perencana pendidikan. Ada lulusan SMK mesin yang pada akhirnya ditakdirkan kuliah di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Ada sarjana hukum yang justru sukses bertani porang.

Demikian juga, ternyata setelah sekian tahun berdiaspora, banyak alumni Jurusan Biologi dua (A22) SMA Al Islam lulusan tahun 1991 yang diketahui terjun ke dunia wirausaha. Salah satunya adalah Dwi Cahyo Wahyu Darmawan.

Akhir-akhir ini alumnus Bioda yang pernah kuliah di Jurusan Sejarah FIB Universitas Sebelas Maret Solo itu kini sedang menekuni usaha produksi donut. Pria yang tinggal di Kota Bekasi jawa Barat itu menggunakan brand Mommy Donut untuk bisnis yang sedang dikembangkannya.

Dwi Cahyo, yang saat sekolah SMA sering dipanggil Mbah Darmo itu berani teriak “Jiwa pedagang om, he he” ketika memperkenalkan usaha bisnisnya kepada kawan-kawan lamanya di grup WA. 

Ia memulai usahanya dengan home made. Tak mau membuka gerai atau gerobak penjualan di pinggir jalan. Pemasarannya dilakukan secara daring atau online. Dia punya konsep yang dinamakan “one on one” untuk model pemasarannya itu. Menurutnya kalau pakai memakai gerai larisnya bakalan lama, bahkan bisa gagal target. 

Menurutnya one on one itu, jurusnya pengamen. Lho kok pengamen? Iya kita menganut hukum rata-rata. Dalam hukum penjualan ada yang namanya hukum rata-rata. Dia menjelaskan misalnya, seorang pengamen untuk dapat 50 ribu dia harus ketemu 100 orang, atau bahkan lebih, minimalnya, karena closing rasionya 1 banding 10. Kalau 1 banding 1 lebih bagus. “Nah, kita jual bakso dengan keliling misalnya. Kita harus ketemu berapa orang supaya dagangan kita habis. Syukur-syukur bakso kita enak. Sehingga langganan kita banyak. Nah, kalau sudah banyak yang kenal dan dagangan kita memang enak, closing ratio-nya semakin kecil, bisa 1 banding 1. Bahkan bisa 1 banding 0,1. Saking larisnya. Nah, itulah saatnya kita buka gerai, dan kasih tau ke langganan-langganan kita, bahwa kita nggak keliling lagi. Alhamdulillah udh punya tempat sekarang. Sekali lagi kalau produk kita enak dan bikin orang ketagihan, mereka akan mencari kita,” ucapnya.


“Nah, produk kita sudah running well sekarang. Gitu kira-kira. Hal itu bisa diukur dari repeat order. Kalau banyak repeat order. Berarti produk kita laku dan disukai,” tambahnya. 

Pria yang mengaku punya pengalaman marketing selama 30 tahun itu menyebut kuncinya berbisnis adalah mental. “Harus punya prinsip. Maksudnya jangan ikuti kata orang yang nyinyir. Jangan dengerin kata orang yang (negative thinking), jangan ikuti! Ikuti keyakinan kita sendiri. Gitu, terus tambah wawasan, dan harus punya cara pandang entrepreneurship. Lakukan with passion. Cintai apa yg kita lakukan. Udah gitu aja,” tutupnya.

Nah kalau kawan-kawan Bioda mungkin sedang di daerah Bekasi, bisa ngalirisi jualan Om Dwi cahyo ini. Insyaallah berkah untuk semua.



** kami mencoba mengangkat kisah-kisah alumni Bioda yang memiliki atau sedang mengembangkan bisnis. 

Komentar

Postingan Populer